Sebagai kota yang sudah berumur lebih
dari 400 tahun, tentu menorehkan sejarah termasuk kisah indah dan pahit
tentang kehidupan manusia yang ada di dalam kota Jakarta yang pada
pemerintahan kolonial Belanda bernama Batavia. Dibalik perjalanan
panjang kota Jakarta, tercatat kisah perjuangan dan tragedi berdarah
sehingga menciptakan kisah tersendiri bagi kota Jakarta. Diantaranya,
ada kisah mengenaskan yaitu pembantaian massal yang dilakukan penguasa
VOC pada tahun 1740 atas orang etnis Tionghoa. Tragedi kemanusiaan itu
menewaskan hampir 10.000 orang etnis Tionghoa dibantai secara sadis di
kawasan Kali Angke.
Kisah kelam ini berawal dari
memanasnya hubungan antara pemerintah VOC Belanda dengan kaum imigran
Tionghoa yang ada di Batavia saat itu. Merosotnya perdagangan VOC akibat
kalah bersaing dengan Maskapai Perdagangan Inggris, The Britisch East India Company
yang berpusat di Callcuta, India dalam perebutan hegemoni perdagangan
bangsa-bangsa Eropa (1602-1799) berbuntut pada tekanan terhadap seluruh
wilayah jajahan VOC termasuk Hindia Belanda.
Untuk mengatasinya, Heeren XVII
(Kamar dagang VOC) menekan Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia
agar dapat memaksimalkan jumlah pendapatan dan aliran dana segar ke kas
VOC. Ditambah lagi besarnya pengeluaran angkatan perang VOC akibat
pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan kolonial di
Nusantara serta terus meningkatnya jumlah imigran Tionghoa yang berhasil
dalam bidang perdagangan di Batavia. Lalu pemerintahan VOC menganggap,
jika dibiarkan akan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan dagang VOC
di negeri ini.
Untuk memecahkan masalah tersebut, Dewan Hindia Belanda dan Gubernur Jendralnya (saat itu dijabat oleh Valckeneir)
sepakat melakukan jalan pintas dengan menggalakkan program tanam paksa
bagi warga bumiputera. Sementara bagi para etnis keturunan dan para
imigran Tionghoa yang saat itu tergolong lebih berhasil dikenakan
berbagai aturan dengan tujuan pemerasan.
Pemerintahan VOC memberlakukan
program “Surat Ijin Tinggal” dengan masa waktu terbatas bagi seluruh
etnis Tionghoa yang tinggal di dalam tembok maupun diluar tembok
Batavia.Selain keras, aturan ini juga menjatuhkan sanksi hukuman penjara
dan denda, hingga pengusiran etnis Tionghoa dari seluruh wilayah Hindia
Belanda, jika tidak memiliki surat ijin tinggal.
Pada awal penerapannya,
pemerintah VOC beralasan bahwa program itu untuk membersihkan wilayah
Batavia dan sekitarnya dari para pendatang ilegal yang selalu mengganggu
ketertiban. Memang, saat itu kondisi kota Batavia menjadi tidak
teratur, diserbu para imigran terutama Tionghoa. Tempat perjudian dan
hiburan tumbuh bak jamur di musim hujan.
Pada 1719 tercatat sebanyak
7.550 jiwa imigran Tionghoa menetap di Batavia dan pada 1739 meningkat
hingga sekitar 10.574 jiwa. Mereka tinggal di dalam dan luar tembok
Batavia. Kemudian 25 juli 1740 pemerintah VOC Belanda mempertegas
pelaksanaan program surat ijin tinggal itu dengan mengelaurkan resolusi
yang isinya “penguasa VOC memiliki hak untuk menangkap dan memenjarakan
seluruh warga Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal diwilayah
Batavia”.
Resolusi pemerintahan VOC
membuat warga etnis Tionghoa terpukul karena dijadikan korban, sementara
menciptakan peluang korupsi bagi oknum pemerintah. Sedangkan kalangan
dewan menilai sangat baik, karena selain meningkatkan pendapatan dari
sisi pajak, juga dijadikan alat kontrol terhadap semua aktivitas bisnis
warga Tionghoa.
Aturan tersebut membuat warga
Tionghoa mengalami kebangkrutan, bahkan banyak diantara pedagang
Tionghoa beralih profesi menjadi buruh kasar akibat tidak kuat membayar
pajak yang diberlakukan pemerintahan VOC Belanda. Kemudian muncul
ketidak puasan yang dilanjutkan dengan perlawan terhadap pemerintahan
VOC. Sehingga sejak September 1740 mulai terjadi kerusuhan-kerusuhan
kecil di luar komplek tembok Batavia.
Aksi perlawanan akhirnya
memuncak pada 7 Oktober 1740. Saat itu, lebih dari 500 orang Tionghoa
dari berbagai penjuru berkumpul guna melakukan penyerangan ke Kompleks
Benteng Batavia. Setelah sebelumnya menghancurkan pos-pos penjagaan VOC
di wilayah Jatinegara, Tangerang dan Tanah Abang secara bersamaan. Lalu,
8 Oktober 1740, kerusuhan terjadi disemua pintu masuk Benteng Batavia.
Ratusan etnis Tionghoa yang berusaha masuk dihadang pasukan VOC dibawah
pimpinan Van Imhoff.
9 Oktober 1740, dibantu dengan
altileri berat pasukan VOC berhasil menguasai keadaan dan menyelamatkan
Kompleks Batavia dari kerusuhan. Pasukan kaveleri VOC mulai mengejar
para pelaku kerusuhan. Seluruh rumah dan pusat perdagangan warga
Tionghoa yang berada di sekitar Batavia digeledah dan dibakar. Termasuk
rumah Kapiten Tionghoa Nie Hoe Kong yang dianggap sebagai otak
kerusuhan. Ribuan warga Tionghoa yang selamat dari kerusuhan diburu dan
dibunuh tanpa perduli apakah terlibat atau tidak dalam peristiwa
pemberontakan tersebut.
Banyak diantara mereka dibiarkan
lari kearah kali sebelum akhirnya dibantai oleh para prajurit yang
telah menunggu kedatangan mereka. Sempat terjadi silang pendapat prihal
lokasi tempat pembantaian yang dilakukan tentara VOC Belanda. Beberapa
sumber menyatakan bahwa kali yang menjadi lokasi pembantaian adalah Kali
Angke, hingga peristiwa pembantaian ini diabadikan dengan nama “Tragedi
Angke”. Namun ada pula yang berpendapat bahwa pembantaian sebenarnya
tidak terjadi di Kali Angke melainkan di Kali Besar, karena letaknya
lebih dekat ke Tembok Batavia. Kali Angke hanyalah merupakan titik akhir
lokasi penemuan ribuan mayat korban pembantaian yang hanyut di air.
Aksi pengejaran terhadap warga
etnis Tionghoa terus berlanjut. Malam hari 9 Oktober 1740, prajurit VOC
kembali melakukan penyisiran guna mencari sisa-sisa etnis Tionghoa yang
bersembunyi dirumah atau bangunan lain diseputar Batavia. Pembantaian
kali ini lebih sadis karena melibatkan budak dan warga bumiputera yang
sengaja dibakar amarahnya. Bahkan menurut cerita Gubernur Jendral
Valckeneir sempat menjanjikan hadiah sebesar 2 dukat per kepala etnis
Tionghoa yang berhasil dipancung.
10 Oktober 1740, setelah
peristiwa pemberontakan mereda, Gubernur Jendral Valckeneir kembali
memerintahkan prajuritnya guna mengumpulkan seluruh warga Tionghoa yang
tersisa termasuk yang terbaring di rumah sakit maupun di penjara. Mereka
dikumpulkan didepan Stadhuis Gedung Balaikota (sekarang Muesum
Fatahillah) untuk menjalani eksekusi hukum gantung.
Pasca tragedi kemanusiaan itu,
tercatat warga etnis Tionghoa yang selamat sebanyak 3.441 jiwa. Terdiri
dari 1.442 pedagang, 935 orang petani, 728 orang pekerja perkebunan, dan
336 orang pekerja kasar. Peristiwa pembantaian etnis ini merupakan
kisah terburuk sepanjang sejarah perjalanan kota Jakarta.
Source :
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.